“Kota ini penuh amarah,”
Tiba-tiba saya teringat kata-kata itu. Pemandangan yang sedang terjadi di hadapan saya saat ini tak ayal menghadirkan kembali ucapan dari bibir merah-hitam milik wanita yang telah enam tahun tinggal bersama saya itu.
Saya menyipitkan mata, mencoba mencari tahu apa gerangan yang sebenarnya sedang terjadi di hadapan saya ini.
“Heh….!! Gila loe, ya!! Maen lari aja ke depan mobil gw!! Mau mati?!!”
Seorang wanita dengan make-up tebal dan kacamata hitam futuristik yang sangat besar mengeluarkan kepalanya dari SUV hitam yang dikendarainya. Dengan suara melengking ia menghardik pada wanita kumal yang jatuh terduduk hanya sepuluh cm dari bemper mobilnya.
Si wanita kumal gemetar. Kedua lengannya susah payah mencoba menopang tungkai yang ia paksa berdiri. Bola matanya melotot seperti akan mencuat keluar demi melihat SUV hitam yang berdiri jumawa di hadapannya.
“Heh!! Minggir, begooo….!! Gue ada meeting, nihh….!!” suara si wanita di balik setir SUV itu melengking lagi, sementara tangan kirinya menekan klakson beberapa kali.
Tiiinnn……!!
Tiiiiiinnnnn…..!!!
Si wanita kumal terkejut. Ia yang tadinya sudah setengah berdiri, terjatuh lagi. Dari kedua kakinya terlihat aliran kuning mengalir. Ia mengompol.
Dua pria yang sebelumnya tergerak untuk menolongnya seketika mengurungkan niat, sementara orang-orang yang bergerombol di pinggir jalan tanpa dikomando mulai menutup hidung.
Saya mencibir.
Seorang petugas Polisi menepikan motor lalu menghampiri si wanita kumal.
“Ayo, ke pinggir, Bu. Jangan bikin macet jalanan,” kata si Polisi sembari memapah si wanita kumal ke tepi jalan.
“Tolong saya, Pak…. Anak saya….., anak saya…….,” ujar si wanita kumal terbata-bata.
“Kenapa anaknya?”
“Anak saya hilang dari kemarin! Anak saya hilang, Paakkkk!! Anak saya hilaaaaanngg…..!!” serta-merta si Ibu menjadi histeris.
“Tenang, Bu! Tenang! Bagaimana hilangnya?” tanya si Polisi.
“Kemarin siang saya tinggalkan di atas jembatan ini, Pak! Tapi cuma sebentar, sumpah!! Biasanya saya tinggal juga gak apa-apa!! Wong kami biasa tidur di situ, kok!” Si wanita kumal semakin histeris. Tangan kirinya mengacung, menunjuk-nunjuk ke arah jembatan penyeberangan yang terbentang di atas mereka.
“Baik…., baik…. Anak Ibu laki-laki atau perempuan? Umurnya?”
“Perempuan, Pak! Umurnya 5 tahun!” si wanita kumal mulai menangis.
Orang-orang yang bergerombol satu demi satu mulai melangkah pergi. Si wanita dengan kacamata hitam futuristik super besar tadi kembali melarikan SUV hitamnya dengan kecepatan tinggi. Saya memain-mainkan rambut, tak bergeming dari pojok halte bus tempat saya duduk sedari tadi.
Tiba-tiba ponsel saya bergetar. Sebuah nama berkedap-kedip di layarnya.
Saskia Hanum.
Spontan hati saya membuncah cerah.
“Hai, sayang! Gimana kota M? Sukses roadshow filmnya di sana?” sapa saya ceria.
“Huh! Sukses apanya?! Sponsor menarik dukungan, di sana mereka dapat kecaman juga. Mereka takut sama ormas yang ngaku-ngaku penegak moral bangsa itu! Asem!!” Jawab wanita di ujung sana, kesal. Saya mendesah panjang.
“Ya, sudahlah. Cheer up, baby. Ini bukan kali pertama kita diperlakukan seperti ini, kan? Ya udah, aku masakin iga panggang buat kamu malam ini, ya.” Kata saya menghibur.
“Oh, okey. Tapi sebelumnya, ada anak cewek di ruang tengah lagi makan Haagen-Dazs sambil nonton TV, baby. Anak siapa itu?”
“Oh, aku membawanya pulang kemarin. Panggil saja Intan, aku memberinya nama ‘Intan’. Coba lihat matanya, besar berbinar seperti intan,” jawab saya, ceria.