Laki-laki ini berdiri dengan kaku di hadapan saya. Jemarinya yang menggenggam rokok gemetar. Ia terlihat begitu rapuh, membuat saya tergoda untuk meraih dan merengkuhnya erat dalam dekapan. Pose laki-laki seperti ini selalu menerbitkan sensasi aneh dalam diri saya. Saya menggigit bibir, mencoba manahan diri.
Setengah jam lalu laki-laki ini menawarkan Matahari musim panas pada saya. Menjanjikan hingar-bingar Harajuku dan taburan kelopak sakura di peraduan saya. Tak ayal saya jadi berpikir, apakah sebaiknya saya terima saja ajakannya untuk ikut bersamanya ke Jepang. Segalanya begitu menggoda, termasuk dirinya yang berdiri di hadapan saya.
Ia beranjak, berjalan perlahan ke arah jendela kamar.
“So, this is it.” Ujarnya.
Saya mengangguk.
“Ya, Ram. This is it.”
Dia mendesah, mematikan rokok, lalu melihat ke luar jendela.
“Kadang-kadang aku pikir, aku laki-laki yang paling beruntung di dunia. Kurang apa aku coba……,” Katanya getir.
Oh, ini akan mulai menyebalkan. Laki-laki satu ini agaknya akan memunculkan satu sifatnya yang paling saya benci, narsisme.
“Ram, what’s your point?” Respon saya jengah, mencoba menghentikan rentetan fakta yang akan meluncur tentang dirinya : ganteng, muda, kaya, dan karier yang dipastikan akan menambah daftar asset kekayaannya. Tidak kekurangan suatu apa pun, kecuali………..
“Aku cuma menginginkanmu. Bukan segala yang aku punya sekarang ini,”
Saya terdiam.
“Atau tidakkah segala yang aku punya sekarang ini membuatmu tertarik?!” Kali ini ia menggenggam jemari saya. Saya jadi tersinggung. Tidak semua bisa dibeli dengan materi bukan, apalagi cinta. Saya lepaskan tangannya, dan mengambil sebatang A Mild dari kotak rokok saya.
“Ram, sudah cukup. Jangan karena cinta ini kamu merendahkan diri di depan saya.”
“Tapi, Lee….,”
“Look, I love you too. But we will never get to it. Never.” Kata saya tegas. Ia terduduk lemas, mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Sesaat ia terdiam, lalu kembali menyalakan rokok dengan jemari gemetar.
“But you know I love you, well, instead of my condition…,” Ia menatap mata saya dengan sendu.
“I would love to get married with you.” Katanya sungguh-sungguh.
Saya tersenyum.
“I love you too, Rama sayang. But I’m not going that far.”
——————
It was a very romantic night. Malam itu, saya dilamar oleh seorang pria yang mencintai pria lain dan seorang wanita yang mengingatkannya pada pria itu.
You’re the sweetest man I’ve ever met, Ram. You’ll always be.
– Medio 2005, Santika Hotel, Jakarta –