Ibumu dulu berkata, ‘Rawat dirimu sebaik mungkin, nak. Kecantikan tidak datang dengan sendirinya. Asalkan kamu rajin lulur dan minum jamu seperti yang Ibu lakukan, kamu pasti mudah mendapat pinangan lelaki. Kamu akan dicintai dan kamu akan bahagia.” Begitu kata ibumu, setiap malam sebelum tidur, sambil menyisir rambutmu yang panjang melewati bahu. Saat ini akhirnya kamu pun takjub, tanpa kamu sadari ternyata rutinitas itu berlangsung sedari TK sampai lulus SMA.
Kamu menenggak lagi kopi kental hitam tanpa gula itu. Cangkir kelima. Kamu sukses membuat barista di coffee shop itu stress karenamu. Kamu tidak tahu, lima hari lalu ada seorang pelanggan jatuh pingsan setelah menenggak kopi pesanannya di sini. Yang bersangkutan ternyata kena serangan jantung. Dan ia khawatir hal yang sama akan terjadi padamu.
Tapi yah…, kamu tak tahu itu. Kamu beranggapan bahwa barista itu tak ubahnya seperti lelaki lain. Tatapan penuh perhatiannya kamu anggap sebagai tahap awal untuk memangsamu. Namun tak seperti biasanya, kamu hanya diam seolah tak peduli. Kamu yang biasanya akan naik pitam, lantas menyuruhnya untuk pergi ke neraka. Di beberapa kesempatan kamu bahkan tak enggan menuangkan minuman panas mengepulmu ke atas kepala beberapa dari mereka. Tapi kali ini kamu hanya diam. Kamu tak peduli pada sekelilingmu. Kamu sedang merenungkan sesuatu.
“Ibu, bahagia itu apa?” tanyamu puluhan tahun lalu. Kau mendengar Ibumu mengucapkannya ratusan kali. Ibumu menganga keheranan, tak mengerti mengapa bocah kecil seusiamu telah mampu mempertanyakan sesuatu yang penuh makna.
“Bahagia itu perasaan penuh cinta. Karena kamu mencintai, dan karena kamu dicintai. Ibu cinta sekali sama kamu, dan Ibu bahagia karena kamu cinta sama Ibu juga,” jawab Ibumu penuh senyum. Kamu hanya manggut-manggut. Sayangnya baru sekarang kamu sadari bahwa otak berusia sepuluh tahunmu itu sebenarnya tak mengerti apa yang dimaksudkan Ibumu.
Pun sekarang.
Kamu tertawa kecil, lalu meletakkan cangkir kopi panas mengepul yang sedari tadi kamu pegang.
“Kalau begitu, itulah mengapa aku tak kunjung bahagia. Karena aku tak mampu mencinta,” ujarmu sendiri, getir.
Barista di depanmu mendongak. Khawatir kalau-kalau 5 gelas kafein telah membuatmu berhalusinasi.